Sejarah Uang Kertas di Masa Pendudukan Hindia Belanda dan Jepang
Membicarakan sejarah uang kertas di Indonesia, tentu tidak lepas dari pengaruh masa pendudukan penjajah Belanda dan Jepang.
Kedua negara ini memberikan warna dalam berbagai kehidupan bernegara setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Dalam hal uang kertas, misalnya, Indonesia baru memiliki uang jenis ini setelah Indonesia merdeka.
Sebelumnya, uang yang dipakai adalah terbitan bank milik Belanda dan Jepang sesuai dengan masa pendudukan mereka.
Belanda menjajah Indonesia selama kurang lebih 350 tahun. Penjajahan itu terjadi pada tahun 1602 hingga 1942. Belanda sempat menyerah kepada Jepang pada 1942. Setelah itu, kekuasaan di negara ini dipegang oleh Jepang selama tiga tahun.
Tidak heran bila banyak aturan sampai kebiasaan tukar-menukar barang mengikuti gaya kedua negara. Sebagai alat tukar, uang kertas yang beredar saat itu juga mengalami dinamisasi rupa seperti yang terjadi sekarang ini.
Sejarah Uang Kertas di Masa Pemerintahan Hindia Belanda
Dalam sejarah tercatat, uang kertas pertama kali yang ada di Indonesia mempunyai wujud bak pamflet kecil atau bon. Uang ini terbit pada tahun 1782.
Gambarnya hanya dicetak memakai mesin stensil pada satu sisi saja. Sementara bagian belakangnya tidak dicetak gambar apapun. Pada gambar membuat tanda tangan dan stempel VOC.
Kongsi dagang Belanda tersebut memang lagi jayanya kala itu. Uang kertas ini dicetak terbatas dan hanya beredar di daerah Ambon, Batavia (Jakarta, Ternate, dan Ambon.
Pemilik uang tersebut hanya orang Belanda dan pribumi dengan status menengah atas, seperti pedagang, bangsawan, dan kalangan ningrat.
Tidak hanya itu, Belanda juga mulai melakukan kontrol terhadap uang dan kebijakan moneter. Muncullah kemudian Javasche Bank yang berfungsi sebagai bank sentral di tahun 1828. Pada tahun ini pula muncul biljet sebagai uang.
Biljet yang beredar kemudian diberikan nomor seri memakai tulisan tangan. Javasche Bank lalu mengeluarkan lagi uang seri “Tembaga” dengan bentuk mirip kuitansi pada tahun 1832.
Lalu, muncul lagi uang seri “Recipes” di tahun 1846 dan disusul dengan seri “biljet Javasche Bank” di tahun 1851.
Uang kertas ini kemudian mengalami perubahan bentuk dan tampilan di tahun 1855. Uang kertas sudah dilengkapi dengan garis tepi, nilai nominal, dan tanda pengaman berupa kertas bergaris.
Bahasa yang dipakai dalam gambar adalah campuran bahasa Belanda dan Arab - Melayu. Tampilan baru ini terdapat pada uang kertas 1 Gulden 1815 seri “Kreasi”.
Selama masa tersebut, uang kertas tetap dicetak hanya satu muka saja. Namun pada tahun 1864, Javasche Bank mulai membuat uang kertas dengan menutup bagian dan belakangnya memakai gambar, huruf, dan ornamen seperti uang kertas yang beredar saat ini.
Pada tahun tersebut, uang yang diterbitkan adalah seri “Frame (Bingkai)”. Tampilannya tidak melulu hitam.
Namun, uang kertas sudah dicetak memakai beberapa warna, memakai tanda air tulisan “Javasche Bank”, dan memakai kertas dengan kualitas yang lebih baik.
Tulisan yang dipakai mulai memadukan empat bahasa yaitu Belanda, Jawa, China, dan Melayu dengan memadukan huruf arab gundul.
Perbaikan pada mutu uang kertas ini terus terjadi hingga hadirnya pendudukan Jepang di tahun 1942.
Uang kertas seri-seri baru pun bermunculan. Tahun 1873, Javasche Bank merilis seri “Frame 2”, lalu diikuti seri “Coen Mercurius” di tahun 1897.
Pada masa ini, uang kertas Hindia Belanda mulai memasukkan gambar tokoh VOC yang cukup berpengaruh, yaitu “Jan Pieterszoon Coen”.
Dialah tokoh VOC yang dianggap cukup berhasil menaklukkan berbagai daerah di Indonesia. Politik adu domba atau devide et impera diberlakukannya untuk mengobrak-abrik Nusantara.
Coen dipercaya menjadi Gubernur Jenderal untuk masa 1618-1629 dan menjadi pendiri Batavia atau Jakarta saat ini. Uang kertas yang memuat gambar Coen muncul lagi di tahun 1901 lewat penerbitan seri “Coen 1”.
Namun, tidak melulu sosok Coen menjadi ikon uang kerta zaman Hindia Belanda. Pasalnya, Javasche Bank menerbitkan pula uang kertas yang memuat gambar Ratu Wilhelmina lewat penerbitan seri “Munbiljet Wilhelmina” pada 4 Agustus 1919.
Sosok sang ratu ada di bagian depan dan lambang kerajaan Belanda “Crowned Dutch” diletakkan di sisi belakang. Uang ini terbit dengan dua bentuk pecahan, yaitu 1 Gulden dan 2 ½ Gulden. Pecahan inilah kemudian yang mengilhami penamaan seri munbiljet.
Javasche Bank ternyata juga memberikan perhatian pada wayang orang. Sebab, pada tahun 1933, diterbitkan uang kertas dengan seri “Wayang Orang”.
Uang ini diedarkan dengan denominasi 5 Gulden hingga 1.000 Gulden. Menariknya, seri ini terlihat makin artistik dan tampak lebih indah dari seri-seri sebelumnya.
Dan, menjelang akhir kekuasaannya sebelum direbut Jepang, Javasche Bank mengeluarkan uang kertas seri “Munbiljet” pada tahun 1940.
Uang ini bernilai pecahan 1 Gulden dengan gambar stupa Candi Borobudur di bagian belakang uang.
Namun, Pemerintahan Hindia Belanda juga melakukan politik kejam terhadap alat tukar. Selain uang kertas, dikeluarkan juga uang partikelir atau uang kupon.
Denominasi uang tersebut mulai dari 10 sen hingga 1 Gulden. Uang ini sebagai alat tukar yang hanya berlaku di kawasan perkebunan milik Belanda. Pemakai uang ini adalah kuli kontrak yang upahnya sangat sedikit.
Jika para kuli meninggalkan perkebunan, otomatis dia tidak bisa membelanjakan upahnya.
Walhasil pemberlakuan uang partikelir diduga untuk mencegah para kuli melarikan diri dari pekerjaannya. Dia hanya bisa membelanjakan uangnya untuk kebutuhan rumah tangga di lingkungan perkebunan.
Beberapa perkebunan yang memakai sistem pengupahan dengan uang partikelir adalah Asahan Tabak Maatschappij, Bandar Poeloe Estate, Tanjung Pasir Estate, dan sebagainya.
Sejarah Uang Kertas di Masa Pemerintahan Jepang (Dai Nippon)
Sekalipun Jepang hanya menduduki Indonesia selama 3,5 tahun, namun sejarah uang kertas juga terjadi di masa ini. Selama tahun 1942 – 1945, beberapa uang terbitan Jepang berlaku di Indonesia kala itu.
Uang kertas diawali dengan munculnya “Gulden” versi Jepang. Pada 5 Maret 1942, Batavia dikuasai Jepang dan pemerintahan Hindia Belanda menyerahkan kekuasaan setelah tiga hari kejatuhan Batavia.
Karena Jepang ingin uang Gulden secepatnya ditarik, maka keluarlah uang baru yang tetap memakai istilah “Gulden” dengan seri “De Japansche Regeering”. Denominasi yang tersedia adalah 1 sen hingga 10 Gulden.
Istilah “Gulden” lantas diganti dengan “Roepiah” pada 1943, yang kemudian nama ini tetap dipakai oleh Pemerintah Indonesia sampai sekarang.
Mata uang Roepiah pertama kali diterbitkan Dai Nippon Teikoku Seihu. Uang kertas tersebut memiliki tampilan gambar yang bertema Indonesia.
Misalnya, pecahan 1 Roepiah bergambar petani dan kerbau yang sedang membajak sawah. Uang 5 Roepiah bertema rumah adat dalam masyarakat Batak. Uang 10 Roepiah ada dua versi gambar, yaitu tokoh Gatotkaca dan stupa Candi Borobudur.
Sementara untuk uang 100 Roepiah bergambar patung dewa Wisnu menunggangi Garuda Yasa dan gambar wayang kulit Arjuna. Sebenarnya ada satu pecahan yang tidak jadi diedarkan oleh Pemerintah Jepang, yaitu pecahan uang 1.000 Roepiah.
Awalnya, Pemerintahan Jepang menerapkan nomor seri pada saat diterbitkan uang Gulden versi Jepang. Namun, ketika penomoran tidak dilakukan, banyak rakyat Indonesia saat itu yang tidak percaya lagi dengan uang kertas buatan Jepang.
Tanpa nomor seri memungkinkan terjadinya pembuatan uang tanpa kontrol. Dulu, pembuatan uang kertas dijamin dengan emas. Sehingga, yang dilakukan Pemerintah Jepang ini ibarat blunder untuk kondisi moneter saat itu.
Akhirnya banyak rakyat yang kembali ke Gulden Hindia Belanda karena masalah ini. Masyarakat memakai uang kertas dan uang logam warisan Belanda sebagai alat tukar.
Kondisi ini berlangsung hingga Jepang angkat kaki dari Indonesia setelah Kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh tentara sekutu.
Posting Komentar untuk " Sejarah Uang Kertas di Masa Pendudukan Hindia Belanda dan Jepang"